Pergelaran wayang kulit di Bali sebelum ini identik dengan pertunjukan untuk melengkapi upacara keagamaan dan adat. Sebagai tontonan, seni hiburan itu kurang menarik minat masyarakat setempat, terutama kaum muda.
Namun, anggapan tersebut tidak lagi sepenuhnya benar, setelah I Wayan Nardayana melakukan terobosan, memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pementasan wayang kulit Bali.
Wayang Cenk Blonk, yang disuguhkan oleh dalang yang mahasiswa Jurusan Pedalangan STSI Denpasar itu, pada suatu malam di daerah pedesaan di Kecamatan Marga, Tabanan, 21 kilometer barat laut Denpasar, tampaknya cukup memukau masyarakat setempat.
Hampir setiap pementasan wayang Cenk Blonk dipadati penonton, termasuk di Lapangan Puputan Badung, jantung Kota Denpasar, dan di perkampungan seniman Ubud untuk melengkapi rangkaian upacara keagamaan yang digelar oleh para warga setempat.
Bahkan, para penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon, penampilan si dalang dan gayanya yang khas dalam memainkan wayang, yang berpadu harmonis dengan permainan instrumen gamelan yang mengiringinya.
Wayang Cenk Blonk, jelas Nardayana, merupakan wayang Ramayana atau wayang Betel, bukan wayang Tantri atau wayang Babad. Cenk Blonk merupakan gabungan kependekan nama dua punakawan –Nang Klenceng dan Nang Keblong yang berwajah, suara dan perilaku lucu. Selain Klenceng dan Keblong, dalam wayang Bali ada punakawan-punakawan lain, yaitu Merdah, Tualen, Sangut dan Delem.
Menurut Nardayana, nama tersebut didapatnya dari para penonton di sebuah desa di Gianyar, waktu ia sedang mengadakan pementasan di sana. Ketika seorang penonton menanyakan apa nama wayang yang sedang dipertunjukkan itu, seorang temannya menjawab, “Wayang Cenk Blonk.” Sebelum Cenk Blonk, nama wayang yang kehadirannya dirintis sejak 1995 tersebut adalah Gita Loka (Nyanyian Alam).
Namun, anggapan tersebut tidak lagi sepenuhnya benar, setelah I Wayan Nardayana melakukan terobosan, memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pementasan wayang kulit Bali.
Wayang Cenk Blonk, yang disuguhkan oleh dalang yang mahasiswa Jurusan Pedalangan STSI Denpasar itu, pada suatu malam di daerah pedesaan di Kecamatan Marga, Tabanan, 21 kilometer barat laut Denpasar, tampaknya cukup memukau masyarakat setempat.
Hampir setiap pementasan wayang Cenk Blonk dipadati penonton, termasuk di Lapangan Puputan Badung, jantung Kota Denpasar, dan di perkampungan seniman Ubud untuk melengkapi rangkaian upacara keagamaan yang digelar oleh para warga setempat.
Bahkan, para penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon, penampilan si dalang dan gayanya yang khas dalam memainkan wayang, yang berpadu harmonis dengan permainan instrumen gamelan yang mengiringinya.
Wayang Cenk Blonk, jelas Nardayana, merupakan wayang Ramayana atau wayang Betel, bukan wayang Tantri atau wayang Babad. Cenk Blonk merupakan gabungan kependekan nama dua punakawan –Nang Klenceng dan Nang Keblong yang berwajah, suara dan perilaku lucu. Selain Klenceng dan Keblong, dalam wayang Bali ada punakawan-punakawan lain, yaitu Merdah, Tualen, Sangut dan Delem.
Menurut Nardayana, nama tersebut didapatnya dari para penonton di sebuah desa di Gianyar, waktu ia sedang mengadakan pementasan di sana. Ketika seorang penonton menanyakan apa nama wayang yang sedang dipertunjukkan itu, seorang temannya menjawab, “Wayang Cenk Blonk.” Sebelum Cenk Blonk, nama wayang yang kehadirannya dirintis sejak 1995 tersebut adalah Gita Loka (Nyanyian Alam).