Kamis, 07 Mei 2009

Rachman Hidayat Ubud

: Petualangan fisik sekaligus petualangan batin Rachman Hidayat, kini menempatkan dirinya di Ubud, Bali, sebagai pelukis. Ia sudah melanglang ke berbagai penjuru dunia; Amerika Utara dan Amerika Selatan, Timur Tengah, Eropa Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur. Sementara petualangan karyanya sudah melalui berbagai proses dalam berbagai obyek, dari obyek manusia, bunga, dan kini berlabuh pada obyek yang bernafaskan spiritual. Rachman Hidayat, sebagai manusia maupun sebagai pelukis, telah menemukan kematangan. Karya Rachman Hidayat Gairahnya untuk menjadi pelukis, bermula dari ketertarikannya mempelajari tehnik melukis dari para pelukis kelas dunia seperti Rembrandt Harmenszoon van Rijn dan Eugène Delacroix, saat dia tinggal di Eurika, negara bagian California, AS. Rachman Hidayat telah 20 tahun menetap di Ubud, dan telah 18 tahun menetapkan diri menjadi artis professional. Sebelumnya ia pernah tinggal di beberapa tempat, seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, Balikpapan, Singapura, Texas City, Texas, Arceta, California. Hidup Rachman yang lahir di Surabaya, memang penuh warna warni, baik yang tersamar maupun yang memancar. Cacatan hidupnya yang warna-warni, bagaimanapun ikut mempengaruhi sikap hidupnya kini. Tahun 1980an menyeselaikan kursus Letter of Credit di World Trade Centrer, New York, kemudian bekerja pada Exclusive private bankers” di Swiss. Tahun 1990 an tercatat sebagai anggota produksi pada Sardono Dance Theatre dalam Dongeng dari Dirah dalam tour dunianya. Kalau kini ia tenang tinggal dan berkarya di Ubud, bukan berarti Rachman Hidayat sudah lelah. (pasarsenilukis.com)

Gelar Sosialisasi UU Kepariwisataan Denpasar

Gelar Sosialisasi UU KepariwisataanDenpasar (Bali Post) -
STIM & PPLP Dhyana Pura mengambil inisiatif melaksanakan seminar dalam rangka sosialisasi UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Seminar berlangsung Jumat (1/5) lalu di kampus STIM & PPLP Dhyana Pura yang dihadiri 100 peserta yang terdiri atas para dosen/instruktur beserta mahasiswa dan jajaran manajemen STIM & PPLP Dhyana Pura dan lembaga-lembaga di lingkungan GKPB.

Tampil sebagai narasumber Dewan Pengawas di Bali Tourism Board (BTB) DR. HC. John Ketut Pantja, MBA yang saat ini masih membantu Yayasan Dhyana Pura dan sebagai anggota Majelis Sinode Lengkap GKPB.

Dalam sambutan pembukaannya, Ketua STIM/Direktur PPLP Dhyana Pura Drs. Budi Santoso, M.M. mengatakan seminar ini dapat memberi pemahaman dan wawasan baru bagi peserta seminar teristimewa bagi para mahasiswa yang nantinya akan terjun ke industri pariwisata. 'Juga bermanfaat bagi para dosen dapat segera melakukan revisi materi perkuliahan terkait dengan UU kepariwisataan yang baru ini, seperti mata kuliah manajemen atraksi wisata, biografi pariwisata, aspek hukum dalam bisnis dan sebagainya,' ujarnya.

John Ketut Pantja membawakan materi seputar perbedaan UU Kepariwisataan terdahulu dan yang sekarang. Juga menyangkut jaminan penyelenggaraan industri pariwisata yang memberi harapan lebih baik di masa mendatang. Dalam UU No.10/2009 tercantum penyelenggaraan promosi pariwisata di daerah yang dikelola melalui satu pintu yaitu Badan Promosi Daerah.

John yang juga Predir PT Tour East Bali ini memaparkan ketentuan-ketentuan lain yang memberi peran dan tempat lebih luas kepada terciptanya Sustainable Tourism Development yang dilandasi oleh Community Based Tourism, dan jaminan lebih terbuka dalam hal berinvestasi di bidang industri pariwisata.

Para beserta begitu antusias mengikuti jalannya seminar. Dalam seminar muncul pertanyaan yang perlu dipikirkan lebih mendalam yakni tentang bagaimana implementasi pemberian kewenangan Badan Promosi Daerah dalam mengakomodasi keinginan tersebut.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah memberikan kewenangan secara tegas dan jelas bagi organisasi-organisasi industri pariwisata untuk disertakan secara aktif dalam kepengurusan Badan Promosi Daerah di bawah naungan Bali Tourism Board.

Rabu, 04 Juni 2008

Wayang Kulit

PhotobucketPergelaran wayang kulit di Bali sebelum ini identik dengan pertunjukan untuk melengkapi upacara keagamaan dan adat. Sebagai tontonan, seni hiburan itu kurang menarik minat masyarakat setempat, terutama kaum muda.

Namun, anggapan tersebut tidak lagi sepenuhnya benar, setelah I Wayan Nardayana melakukan terobosan, memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pementasan wayang kulit Bali.

Wayang Cenk Blonk, yang disuguhkan oleh dalang yang mahasiswa Jurusan Pedalangan STSI Denpasar itu, pada suatu malam di daerah pedesaan di Kecamatan Marga, Tabanan, 21 kilometer barat laut Denpasar, tampaknya cukup memukau masyarakat setempat.

Hampir setiap pementasan wayang Cenk Blonk dipadati penonton, termasuk di Lapangan Puputan Badung, jantung Kota Denpasar, dan di perkampungan seniman Ubud untuk melengkapi rangkaian upacara keagamaan yang digelar oleh para warga setempat.

Bahkan, para penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon, penampilan si dalang dan gayanya yang khas dalam memainkan wayang, yang berpadu harmonis dengan permainan instrumen gamelan yang mengiringinya.

Wayang Cenk Blonk, jelas Nardayana, merupakan wayang Ramayana atau wayang Betel, bukan wayang Tantri atau wayang Babad. Cenk Blonk merupakan gabungan kependekan nama dua punakawan –Nang Klenceng dan Nang Keblong yang berwajah, suara dan perilaku lucu. Selain Klenceng dan Keblong, dalam wayang Bali ada punakawan-punakawan lain, yaitu Merdah, Tualen, Sangut dan Delem.

Menurut Nardayana, nama tersebut didapatnya dari para penonton di sebuah desa di Gianyar, waktu ia sedang mengadakan pementasan di sana. Ketika seorang penonton menanyakan apa nama wayang yang sedang dipertunjukkan itu, seorang temannya menjawab, “Wayang Cenk Blonk.” Sebelum Cenk Blonk, nama wayang yang kehadirannya dirintis sejak 1995 tersebut adalah Gita Loka (Nyanyian Alam).